Langsung ke konten utama

TITIK NADIR

Senja itu, cuaca terasa lebih dingin, gerimis hadir sesaat, sekedar singgah pada pucuk pohon porang di belakang rumah.  Sahabatku yang datang sekitar 15 menit yang lalu masih terduduk lesu, mendung menggayut di matanya,  helaan nafasnya begitu berat. aku biarkan dia tenggelam dalam diam. 

“Teh, pernah gak merasakan berada pada titik nadir? Tanyanya tiba-tiba. Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Kupandangi sahabatku yang terlihat agak kurus. Sepertinya sahabatku mempunyai masalah yang begitu berat sampai-sampai merasa berada di titik nadir dalam kehidupannya. 

“Ada masalah apa?” tanyaku hati-hati

“Aku capek, sepertinya tanggung jawabku sudah melebihi kapasitas.” Sahutnya lirih.

Aku termangu, sahabatku jarang berkeluh kesah, sifatmya yang periang, suka bercanda mampu menutupi beban yang selama ini dipikulnya. Jika hari ini dia mengeluh berarti kapasitas kesabarannya sudah diambang batas. Aku memahaminya. Sebenarnya aku salut pada sahabatku, dia selalu tegar dalam mengayuh biduk rumah tangganya. Kenapa aku mengatakan bahwa dia yang mengayuh biduk, karena aku melihat suaminya tidak mampu mengemudikannya. Suami yang seharusnya menjadi nakhoda malah jadi penumpang yang tidak perduli kemana kapal akan berlabuh. 

“Aku mengerti perasaanmu, aku bisa merasakan kelelahanmu, tapi kamu harus tetap kuat, dan aku yakin kamu bisa, anakmu aja bilang kalau kamu perempuan tangguh.” Sahabatku mulai terisak dan aku membiarkannya. Bagi perempuan menangis merupakan salah satu cara untuk melepaskan beban. 

“Tunjukan ketegaranmu, selama ini kamu selalu mampu mencari solusi atas kesulitanmu, jangan biarkan mendung menyelimuti wajahmu,” kataku sok bijak.

“Aku capek, seharusnya tanggung jawab ini bukan berada dipundakku, sebagai istri aku inginnya duduk manis saja, mengurus rumah, mengasuh anak bukan harus pontang panting kian kemari tuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga.” Emosi sahabatku tidak bisa ditahan lagi.

“Aku paham, kamu sedang berada di puncak titik jenuh yang membuat  pikiranmu buntu, tapi pada dasarnya, setiap orang selalu mempunyai cara untuk keluar dari permasalahan dan buktinya kamu selalu mampu menyelesaikan permasalahanmu itu, kenapa sekarang kamu begitu putus asa?”  

“Apa yang harus aku lakukan?” tanya sahabatku

“Keluar dari titik nadir, nikmati jenuh itu, pilihlah  aktivitas yang menurutmu terbaik karena yang terbaik datangnya dari diri kamu sendiri bukan dari orang lain.” 

Tangis sahabatku mulai reda.

#ChallengeRamadan

#SahabatKabolMenulis

#Day16

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUKAN SEKEDAR EKSIS

“Lo, eksis banget ya di medsos, tiap hari muncul di berandaku, ” celetuk sahabatku “Terus, masalah buat, Lo?” tanyaku. “Enggak sih, aku  heran aja.” “Kenapa heran? Kan gak aku aja yang eksis, yang lain malah sehari bisa sampai update status 3 sampai 4 kali, perasaan aku hanya sekali setiap hari.” Jawabku. “Iya sih, kadang aku bingung melihat orang-orang ini, semuanya diposting, cuaca panas langsung update “panasnya full banget” hari hujan update “hujaaaaan”, gak bisa tidur langsung update “insomnia” dapat kado langsung update “makasih ya kadonya” apalagi yang ulang tahun, dari teman gak apa-apa sih ini yang lucu kalau suami istri yang ulang tahun sampai diupdate juga emangnya mereka gak serumah ya, sampai-sampai mengucapkan ulang tahun aja di medsos.”  Kupandangi sahabatku sambil tersenyum, dia memang agak pendiam dan kurang aktif di media sosial. Waktunya lebih suka dihabiskan dengan membaca buku.  “Kadang aku bingung melihatmu, dikit-dikit foto, dikit-dikit selfi, terus posting, apa

CATATAN SEBUAH PERJALANAN

  Oleh: Yeni Rohaeni  Seminggu yang lalu, beliau memperkenalkan diri sebagai salah satu pengelola PKBM dari Provinsi Banten. Lalu, komunikasipun mengalir begitu saja, berbagi cerita, berbagi pengalaman, berbagi informasi, dan akhirnya bertemu muka dalam sebuah perjalanan. Begitu banyak kebaikan yang aku dapatkan dalam perjalananku. Rasa ikhlas, rendah hati, senyuman tulus, dan rasa peduli mengalirkan energi positif dari sahabatku.  Gedung E lantai 7 Kemdikbud mempertemukan kami. Selesai pertemuan, sahabatku mengantarkan aku ke sebuah apartemen sebagai tempat melepas penatku.  Hari kedua aku dijemput kembali dan dibawa mengunjungi lembaga PKBM nya. Alhamdulillah, selalu ada cerita dan wawasan baru dalam setiap persinggahan.  Malam berikutnya, aku tidak lagi menginap di apartemen melainkan dibawa ke rumahnya yang cukup asri di kawasan Bogor. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kedekatan ini terjadi begitu saja padahal baru satu minggu kami berkenalan.  "Mengalirlah bersama ke

KASIH TAK TERUCAP

Lagu ruang rindunya Letto terdengar merdu dari ponselku, entah kenapa aku suka sekali lagu itu sehingga hampir 4 tahun ini tak ada niat untuk mengganti nada deringku. Ternyata itu hanya panggilan sesaat dari anakku yang sekolah di luar kota. Biasanya sekedar untuk memberi tahu bahwa dia kirim WA dan aku belum membacanya.  “Ibu sibuk?” chat singkat dari anakku. “Enggak, ada apa?” balasku cepat. “Enggak ada apa-apa, nanya doang, kok ibu gak ada nelpon-nelpon?” tanyanya lagi “Ibu banyak kerjaan,” “Ah, itu mah alesandro ibu aja,” balasnya lagi.  Aku tersenyum membacanya, bahasa anak sekarang kadang-kadang ditambahin macam-macam, alasan aja menjadi alesandro. Chat berikutnya membuat keningku agak berkerut. “Kenapa Ibu gak seperti mamanya Dilla?” Dilla adalah teman 1 kamarnya yang berasal dari kabupaten lain. “Emang mamanya Dilla, kenapa?” tanyaku penasaran “Mamanya Dilla hampir menelpon Dilla tiap hari, nanyain dah bangun belum? Dah makan belum? Dah pulang sekolah belum? Dsb lah, kok ibu ja