Langsung ke konten utama

PELAJARAN 45 MENIT



“Kenapa memilih profesi sebagai tukang ojeg , Un (kak)?”

Kuawali  perbincangan dengan tukang ojeg yang membawaku. Pagi itu, aku akan  menghadiri rapat di kabupaten. Suamiku tidak bisa mengantar karena beliau ada kegiatan lain. Rencana mau numpang dengan bis pemda tetapi aku kesiangan karena bis pemda berangkat jam 6.30 WIB dari kecamatanku.  Saat berdiri di tepi jalan menunggu travel, sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang perempuan menghampiriku. 

“Mau kemana, Bu?’ tanyanya sopan.

“Mau ke kabupaten.” Jawabku

“Bisa diantar sama saya saja, Bu? Travel biasanya lama, nanti ibu terlambat.” Sahutnya sedikit memohon. 

“Uni, tukang ojeg?” tanyaku sambil memandangnya. Seorang perempuan paruh baya. Posturnya lebih tinggi dari tubuhku dan terlihat kuat.

“Iya, Bu, mari saya antar saja, pakai motor mungkin akan lebih cepat sampai, saya sudah biasa mengantar penumpang ke kabupaten, Bu.” Jawabnya lagi.

Benar juga kata tukang ojeg ini, jika aku pakai travel mungkin akan lebih lama karena travel biasanya mengantar penumpang lain sampai rumah masing-masing, sementara aku hanya punya waktu 45 menit untuk menghandiri agenda rapat. Akhirnya aku mengangguk. Tukang ojeg ini terlihat gembira dan langsung memberikan helm kepadaku.

Waktu 45 menit dalam perjalanan kumanfaatkan untuk berbincang dengannya walaupun kadang suaranya berbaur dengan suara angin. 

“Suami saya meninggalkan kami 2 tahun yang lalu, katanya mau mencari pekerjaaan  ke Batam tetapi sampai sekarang tidak ada kabar, saya hanya tamatan SD, Bu, tidak punya bekal untuk mencari pekerjaan lain, terpaksa aku menjadi tukang ojeg untuk menghidupi kedua anak saya yang masih SD.” Jawabnya datar menandakan bahwa dia perempuan yang tegar. 

Aku menelan ludah, betapa kuatnya perempuan ini menanggung beban, suaminya pergi dan meninggalkan tanggung jawabnya pada punggung perempuan  ini untuk membesarkan kedua anaknya sendirian. 

“Maaf, apa sepeda motor ini punya uni sendiri?” tiba-tiba pertanyaan ini terlontar dari mulutku dan aku sangat menyesalinya khawatir ibu ini tersinggung.  

“Iya, Bu, tapi motor ini kreditan.” Aku lega mendengar jawabannya.

“Sudah berapa lama uni jadi tukang ojeg?” 

“sudah hampir setahun, Bu.”

“Apa penghasilan dari tukang ojeg ini mencukupi?”

“Tergantung, Bu, kadang cukup kadang tidak cukup, tapi berapapun rejeki yang kudapatkan setiap hari, aku mensyukurinya, bisa untuk makan kami bertiga saja sudah Alhamdulillah.”  

“Bahagiakah uni menjadi tukang ojeg?” 

Tiba-tiba dia tertawa, “Pertanyaan ibu lucu, Bu, bahagianya saya ini kalau saya bekerja di rumah, membereskan rumah, mengurus anak, memasak sambil menunggu suami pulang membawa rejeki untuk anak istrinya.”

“Tapi itu mungkin hanya mimpi, Bu karena sampai sekarang ternyata suami saya gak pulang-pulang, akhirnya ya saya harus berjuang sendiri.” Jawabnya lagi.

“Maaf, sudah sampai, Bu, pulangnya nanti ibu bagaimana, kalau harus saya nunggu juga gak apa-apa , Bu, saya bersedia.” 

Aku tergagap, tak menyadari kalau aku sudah sampai di tempat tujuan.

“Oh, gak usah ditunggu, kalau pulang nanti banyak tumpangan.” Jawabku sambil memberikan ongkos ojeg dan diapun balik arah sambil melambaikan tangan.

Pelajaran hidup selama 45 menit tadi membuatku berpikir, ternyata profesi tukang ojeg tidak hanya dijalani oleh kaum pria. seorang perempuan pun sanggup menjalaninya demi tanggung jawab kepada anak-anaknya. 

Perjuangannya mengingatkan aku pada tokoh perempuan dari Jepara, Raden Ajeng Kartini, sosok yang selalu memberikan inspirasi pada setiap perempuan Indonesia. Perempuan bangsawan yang tidak pernah lelah menyuarakan kesetaraan gender. 

"Banyak emansipasi wanita bukanlah untuk persamaan derajat, emansipasi adalah pembuktian diri yang seimbang antara raga yang tangguh namun hati senantiasa patuh. Emansipasi ada penerimaan, penerimaan diri bahwa setiap tempat ada empu yang dikodratkan dan dipantaskan (R.A Kartini).”

Selamat hari kartini.

#ChallengeRamadan

#SahabatKabolMenulis

#Day11

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CATATAN SEBUAH PERJALANAN

  Oleh: Yeni Rohaeni  Seminggu yang lalu, beliau memperkenalkan diri sebagai salah satu pengelola PKBM dari Provinsi Banten. Lalu, komunikasipun mengalir begitu saja, berbagi cerita, berbagi pengalaman, berbagi informasi, dan akhirnya bertemu muka dalam sebuah perjalanan. Begitu banyak kebaikan yang aku dapatkan dalam perjalananku. Rasa ikhlas, rendah hati, senyuman tulus, dan rasa peduli mengalirkan energi positif dari sahabatku.  Gedung E lantai 7 Kemdikbud mempertemukan kami. Selesai pertemuan, sahabatku mengantarkan aku ke sebuah apartemen sebagai tempat melepas penatku.  Hari kedua aku dijemput kembali dan dibawa mengunjungi lembaga PKBM nya. Alhamdulillah, selalu ada cerita dan wawasan baru dalam setiap persinggahan.  Malam berikutnya, aku tidak lagi menginap di apartemen melainkan dibawa ke rumahnya yang cukup asri di kawasan Bogor. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kedekatan ini terjadi begitu saja padahal baru satu minggu kami berkenalan.  "Mengalirlah bersama ke

BUKAN SEKEDAR EKSIS

“Lo, eksis banget ya di medsos, tiap hari muncul di berandaku, ” celetuk sahabatku “Terus, masalah buat, Lo?” tanyaku. “Enggak sih, aku  heran aja.” “Kenapa heran? Kan gak aku aja yang eksis, yang lain malah sehari bisa sampai update status 3 sampai 4 kali, perasaan aku hanya sekali setiap hari.” Jawabku. “Iya sih, kadang aku bingung melihat orang-orang ini, semuanya diposting, cuaca panas langsung update “panasnya full banget” hari hujan update “hujaaaaan”, gak bisa tidur langsung update “insomnia” dapat kado langsung update “makasih ya kadonya” apalagi yang ulang tahun, dari teman gak apa-apa sih ini yang lucu kalau suami istri yang ulang tahun sampai diupdate juga emangnya mereka gak serumah ya, sampai-sampai mengucapkan ulang tahun aja di medsos.”  Kupandangi sahabatku sambil tersenyum, dia memang agak pendiam dan kurang aktif di media sosial. Waktunya lebih suka dihabiskan dengan membaca buku.  “Kadang aku bingung melihatmu, dikit-dikit foto, dikit-dikit selfi, terus posting, apa

KATA HATI

Oleh: Yeni Rohaeni  Malam tadi, acaranya arisan keluarga. Acara yang dilakukan rutin setiap tanggal 25 pada tiap bulannya ini dihadiri oleh seluruh kerabat keluarga. Biasanya diisi dengan acara diskusi ngalor ngidul, makan, dan diakhiri dengan mengocok arisan.  Seperti biasa, aku melihat adik sepupuku duduk menyendiri. Dia tidak pernah mau bergabung untuk ngobrol dengan anggota keluarga lainnya. Aku sendiri tidak tau masalanya karena tidak pernah bertanya, tapi malam tadi aku mencoba mendekatinya.  "Pa kabar, Ki," sapaku "Baik," jawabnya singkat tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Sepertinya dia sedang asyik main game online. "Gabung yuk, ke ruangan tengah," kataku "Males, ah,"  "Napa sih tiap ada acara kumpul keluarga gak pernah mau gabung?" tanyaku "Gak bagus lho selalu memisahkan diri, ntar dikira sombong," kataku lagi. Adik sepupuku memandangku sejenak, lalu kembali anteng dengan androidnya. "Hey, aku ngomong