Langsung ke konten utama

DISIPLIN MEMBERI KEKUATAN


 
Oleh :Yeni Rohaeni

Sampai bulan kelima di tempat pekerjaan baru, aku masih merutuki diri sendiri. Kenapa aku memutuskan pindah kerja ke tempat ini? Sebelumnya aku bekerja di ujung Kota Karawang tepatnya di Rengasdengklok, aku bekerja sebagai staf administrasi pada perusahaan tambak bandeng. Setahun kemudian aku mendengar kabar kalau teman Bosku di Bandung membutuhkan karyawan baru. Perusahaan temannya bergerak di bidang budi daya bunga potong. Aku merasa tertarik tapi alasan yang lebih kuat karena Bandung lebih dekat ke kampungku dibandingkan dari Karawang. Setelah mendapat ijin dari Bosku, aku langsung meluncur ke Bandung.

Mr. Chung, pria baruh baya yang masih berkewarganegaraan Taiwan ini terlihat kaku, dengan Bahasa Indonesia yang masih terbata-bata beliau menerangkan apa yang harus aku kerjakan. Keningku sedikit berkerut ketika aku tahu bahwa pekerjaanku merangkap-rangkap, administrasi keuangan, pengepakan, pemasaran sampai menu makanan Mister semuanya aku yang mengurus. Oh ya, aku tinggal di mess yang dikelilingi kebun bunga bersama 1 orang mandor dan 2 orang asisten rumah tangga, karyawan harian berasal dari warga sekitar.
Lembang tahun 2005, hawa dingin yang menusuk sampai tulang sumsum membuat aku sulit membuka mata setiap pagi. Ingin rasanya menarik selimut tebal dan melanjutkan tidur sampai matahari muncul tetapi bunyi sepatu boot Mister yang berkeliling setiap pagi memaksaku beranjak dari tempat tidur dan bersiap untuk melaksanakan kewajibanku sebagai seorang karyawan.
Aku sempat heran, terbuat dari apakah si Mister ini? Tubuhnya yang kecil begitu kuat menahan udara dingin Lembang, berkeliling menembus kabut yang hadir hampir setiap pagi. Baah, kadang aku menggerutu ketika beliau membangunkan kami dengan menggedor pintu kamar kami satu persatu padahal waktu masih menunjukan pukul 06.00 WIB.
Mr, Chung menerapkan disiplin yang begitu ketat pada setiap karyawannya. Tak jarang aku mendengar beliau berteriak nyaring pada karyawan harian yang datang terlambat bahkan sampai menghentak-hentakan sepatu bootnya jika ada karyawan yang berleha-leha setelah istirahat siang.
Terkadang hatiku berontak, aku tak bisa menerima perlakuannya pada karyawan harian, aku berpikir, orang asing kok seenaknya saja membentak-bentak kami yang asli orang pribumi. Para karyawan sering mengadu kalau mereka tidak tahan dengan peraturan ketat dari Mister. Aku hanya bisa menghibur mereka dengan menjelaskan kalau Mister memang pekerja keras padahal diriku sendiri kadang merasa tersiksa. ilmu tentang budi daya bunga potong dan keindahan warna warni bungalah yang membuatku bertahan. Disamping itu, relasiku bertambah dengan pemilik toko-toko bunga yang ada di Bandung dan Jakarta.
“Teteh, jangan lupa bunga gerbera yang warna merah dan putih jangan kasih ke yang lain ya, antar ke toko aku semua, pesanan istana Negara nih untuk perayaan 17 agustus!”
"Teteh, bunga lili yang putih 10 ikat tuk Natalan, kirim ke Wastukencana, ya!”
“Casablanca 10 ikat, mawar 20 ikat campur, snapdragon 5 ikat, kala lili 5 ikat, tuk Rawa Belong, agak pagi dikirim, ya!”
Seandainya aku tidak mampu bertahan, mungkin dunia pasar bunga potong tak akan pernah kualami. Hampir 2 tahun aku bertahan dengan Mr. Chung. Selama itu pula aku ditempa dalam kedisiplinan bekerja. On time adalah sesuatu yang sangat berharga, tak heran kalau orang luar lebih sukses dalam perusahaan karena mereka sangat menghargai waktu.
Aku berhenti bekerja karena aku menikah. Aku tidak tahu apakah kebun bunga milik Mr. Chung masih ada atau tidak, yang jelas tempaan kedisiplinan dari beliau tetap membekas pada diriku. Disiplin memberikan sesuatu yang berbeda. Dengan disiplin seseorang dipaksa untuk berkembang hingga mampu menemukan kualitas tersembunyi dalam diri yang belum pernah diketahui sebelumnya.
Sayangnya, di tempat tinggalku yang sekarang sangat sulit melihat orang yang menghargai waktu. Ketika ada undangan rapat, aku yang terbiasa disiplin berusaha tepat waktu dan ternyata aku harus menunggu sampai 1 jam bahkan lebih untuk memulai acara. Pada akhirnya aku pun mengikuti kebiasaan molor di setiap acara daripada menunggu lama. Sungguh suatu kemunduranšŸ¤­
#ChallengeRamadan #SahabatKabolMenulis #Day2

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUKAN SEKEDAR EKSIS

“Lo, eksis banget ya di medsos, tiap hari muncul di berandaku, ” celetuk sahabatku “Terus, masalah buat, Lo?” tanyaku. “Enggak sih, aku  heran aja.” “Kenapa heran? Kan gak aku aja yang eksis, yang lain malah sehari bisa sampai update status 3 sampai 4 kali, perasaan aku hanya sekali setiap hari.” Jawabku. “Iya sih, kadang aku bingung melihat orang-orang ini, semuanya diposting, cuaca panas langsung update “panasnya full banget” hari hujan update “hujaaaaan”, gak bisa tidur langsung update “insomnia” dapat kado langsung update “makasih ya kadonya” apalagi yang ulang tahun, dari teman gak apa-apa sih ini yang lucu kalau suami istri yang ulang tahun sampai diupdate juga emangnya mereka gak serumah ya, sampai-sampai mengucapkan ulang tahun aja di medsos.”  Kupandangi sahabatku sambil tersenyum, dia memang agak pendiam dan kurang aktif di media sosial. Waktunya lebih suka dihabiskan dengan membaca buku.  “Kadang aku bingung melihatmu, dikit-dikit foto, dikit-dikit selfi, terus posting, apa

CATATAN SEBUAH PERJALANAN

  Oleh: Yeni Rohaeni  Seminggu yang lalu, beliau memperkenalkan diri sebagai salah satu pengelola PKBM dari Provinsi Banten. Lalu, komunikasipun mengalir begitu saja, berbagi cerita, berbagi pengalaman, berbagi informasi, dan akhirnya bertemu muka dalam sebuah perjalanan. Begitu banyak kebaikan yang aku dapatkan dalam perjalananku. Rasa ikhlas, rendah hati, senyuman tulus, dan rasa peduli mengalirkan energi positif dari sahabatku.  Gedung E lantai 7 Kemdikbud mempertemukan kami. Selesai pertemuan, sahabatku mengantarkan aku ke sebuah apartemen sebagai tempat melepas penatku.  Hari kedua aku dijemput kembali dan dibawa mengunjungi lembaga PKBM nya. Alhamdulillah, selalu ada cerita dan wawasan baru dalam setiap persinggahan.  Malam berikutnya, aku tidak lagi menginap di apartemen melainkan dibawa ke rumahnya yang cukup asri di kawasan Bogor. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kedekatan ini terjadi begitu saja padahal baru satu minggu kami berkenalan.  "Mengalirlah bersama ke

KASIH TAK TERUCAP

Lagu ruang rindunya Letto terdengar merdu dari ponselku, entah kenapa aku suka sekali lagu itu sehingga hampir 4 tahun ini tak ada niat untuk mengganti nada deringku. Ternyata itu hanya panggilan sesaat dari anakku yang sekolah di luar kota. Biasanya sekedar untuk memberi tahu bahwa dia kirim WA dan aku belum membacanya.  “Ibu sibuk?” chat singkat dari anakku. “Enggak, ada apa?” balasku cepat. “Enggak ada apa-apa, nanya doang, kok ibu gak ada nelpon-nelpon?” tanyanya lagi “Ibu banyak kerjaan,” “Ah, itu mah alesandro ibu aja,” balasnya lagi.  Aku tersenyum membacanya, bahasa anak sekarang kadang-kadang ditambahin macam-macam, alasan aja menjadi alesandro. Chat berikutnya membuat keningku agak berkerut. “Kenapa Ibu gak seperti mamanya Dilla?” Dilla adalah teman 1 kamarnya yang berasal dari kabupaten lain. “Emang mamanya Dilla, kenapa?” tanyaku penasaran “Mamanya Dilla hampir menelpon Dilla tiap hari, nanyain dah bangun belum? Dah makan belum? Dah pulang sekolah belum? Dsb lah, kok ibu ja