TAMU ISTIMEWA HARI INI
Oleh: Yeni Rohaeni
"Assalamualaikum," terdengar suara yang sudah sangat kukenal.
"Waalaikumsalam, masuklah!" Jawabku tanpa mengalihkan pandanganku dari layar komputer.
Dari caranya mengucapkan salam aku sudah tahu kalau yang datang adalah salah satu tutorku yang mengajar Paket B.
"Teh, aku bawa teman," kata tutorku
Saking antengnya dengan komputer sampai gak sadar kalau tutorku bawa temannya.
Refleks aku menoleh, aku melihat tutorku membimbing temannya, mendudukkannya di sebuah kursi, dan meletakan air minum kemasan ke tangannya.
Sejenak aku terkesima melihat adegan itu, ternyata tutorku membawa temannya yang tuna netra.
"Ini Pak Son, Teh, beliau ngajar di SLB sini," tutorku menjelaskan tanpa kuminta.
MasyaAllah, ternyata beliau seorang Guru.
Pak Son berasal dari Simalungun Sumatera Utara, SK pengangkatan sebagai ASN lah yang membawanya ke sini sejak tahun 2019.
Sakit campak menyebabkan beliau kehilangan penglihatan sejak usia 3 tahun. Bukan tidak ada usaha untuk menyembuhkan tetapi ketidakmengertian orang tuanya akan bahaya campak membuat pengobatannya hanya sebatas obat kampung.
Kenyataan hidup sebagai penyandang tuna netra akhirnya harus Pak Son jalani dengan sabar dan ikhlas.
"Tidak ada gunanya meratapi nasib, sementara kehidupan terus berjalan, kalau meratap terus mau sampai kapan?"
"Apapun yang Allah berikan ya harus kita jalani dan kita syukuri."
Aku terdiam mendengar kata-katanya. Ada rasa malu menyelinap dalam hatiku. Kita yang sempurna secara fisik kadang-kadang masih suka mengeluh. Mati lampu sebentar saja dimalam hari sudah kalang kabut, tak jarang sampai memaki-maki PLN padahal para tuna netra ini selama hidupnya tak pernah menikmati cahaya dunia beserta isinya.
Keterbatasan fisik pada penglihatan tidak membuat Pak Son patah semangat untuk belajar.
Selama menempuh pendidikan dasar, Pak Son tinggal di asrama bersama penyandang tuna netra lainnya. Hal ini cukup membuatnya nyaman karena tidak ada yang membully. Memasuki jenjang SMP Pak Son harus keluar dari zona nyaman karena memilih sekolah di sekolah umum.
"Apakah Pak Son merasa minder?" Tanyaku lugu dengan hati-hati
"Saya tidak minder karena waktu di asrama kami sudah diberi bekal agar kami siap menghadapi segala kemungkinan saat kami berbaur dengan mereka yang sempurna fisik."
"Keinginan kami tidak muluk-muluk, kami hanya ingin keberadaan kami diakui dan diterima di sekolah itu," katanya sambil membetulkan letak kaca matanya.
Perjuangannya dalam menuntut ilmu tidak sia-sia, sekarang Pak Son menikmati hasilnya sebagai Guru ASN SLB di daerahku.
Tamu hari ini benar-benar istimewa, membuka mataku bahwa seorang difabel ternyata memiliki perjuangan yang lebih berat. Perjuangan dalam menerima kenyataan hidup sebagai penyandang cacat, perjuangan dalam menuntut ilmu, dan perjuangan untuk mendapatkan pengakuan agar bisa diterima dan dihargai oleh masyarakat.
"Terima kasih atas kedatangannya, Pak Son,
kalau kesini lagi jangan lupa bawa buku braile, ya!" kataku saat mereka berpamitan pulang.
Komentar
Posting Komentar