Langsung ke konten utama

POST POWER SYINDROME



“Kenapa sih kok kamu jadi baperan gitu?” tanyaku pada sahabatku.

Akhir-akhir ini, aku melihat sahabatku berubah, kadang seperti orang kebingungan, kecewa, kesepian, gelisah  bahkan frustasi.

“Gak tahu, aku juga bingung, kadang hatiku terasa hampa.” Jawabnya.

“Jujur deh, kayaknya kamu belum bisa menerima kekalahan, ya?”tanyaku kemudian.


Selama 1 periode sahabatku memang menjabat sebagai pimpinan suatu organisasi, ketika jabatannya habis,  sahabatku sepertinya enggan melepaskan jabatannya sehingga dia mengulur-ulur waktu pelaksanaan pemilihan kepengurusan baru. Sahabatku seolah-olah buta bahwa Suatu organisasi harus mengikuti aturan yang tertuang dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Setinggi apapun kita menginginkan jabatan kita tidak boleh menyalahi aturan AD dan ART tersebut. Begitu pun sahabatku, tidak akan bisa mengelak dari kenyataan bahwa masa bakti jabatannya sudah selesai. 


Ketika pemilihan kepengurusan baru, ternyata sahabatku bersikeras ikut mencalon kembali sebagai ketua organisasi dan ternyata dia gagal, suara yang memilihnya jauh lebih kecil dibanding perolehan suara rivalnya. 


“Aku bisa terima kekalahan itu kok.” Jawabnya.

“Tapi aku lihat kamu belum ikhlas.” Sahutku. 

“Kamu harus bisa menerima kenyataan kalau kamu tuh bukan pimpinan lagi, kamu bukan pengambil keputusan, dan kamu tidak bisa lagi mengatur orang lain karena posisimu hanya sebagai anggota biasa.”

“Kenapa mereka tidak memilihku lagi, ya?” tanyanya lirih.


Aku menghela nafas, ada rasa iba menyelinap dalam hatiku melihat bayangan kesedihan dimatanya.  Sahabatku sepertinya mengalami post power syndrome karena kehilangan jabatan  yang disertai penurunan harga diri.  Ketika menjadi pimpinan, sahabatku terbiasa mengatur orang lain, kemana-mana dihormati dan dihargai. Sekarang, setelah jabatannya hilang sahabatku merasa tidak ada lagi yang menghargainya.


“Kamu tidak perlu memikirkan kenapa mereka tidak memilihmu kembali, yang penting kamu harus sportif dan ikhlas menerima kenyataan, carilah kegiatan lain yang bermanfaat yang bisa membuat resahmu hilang.” 

“Jika kamu terus-terusan memikirkan jabatan yang hilang, bisa-bisa kamu masuk rumah sakit jiwa.” Kataku sambil bercanda dan sahabatku mulai tersenyum. 


#ChallengeRamadan

#SahabatKabolMenulis

#Day13

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUKAN SEKEDAR EKSIS

“Lo, eksis banget ya di medsos, tiap hari muncul di berandaku, ” celetuk sahabatku “Terus, masalah buat, Lo?” tanyaku. “Enggak sih, aku  heran aja.” “Kenapa heran? Kan gak aku aja yang eksis, yang lain malah sehari bisa sampai update status 3 sampai 4 kali, perasaan aku hanya sekali setiap hari.” Jawabku. “Iya sih, kadang aku bingung melihat orang-orang ini, semuanya diposting, cuaca panas langsung update “panasnya full banget” hari hujan update “hujaaaaan”, gak bisa tidur langsung update “insomnia” dapat kado langsung update “makasih ya kadonya” apalagi yang ulang tahun, dari teman gak apa-apa sih ini yang lucu kalau suami istri yang ulang tahun sampai diupdate juga emangnya mereka gak serumah ya, sampai-sampai mengucapkan ulang tahun aja di medsos.”  Kupandangi sahabatku sambil tersenyum, dia memang agak pendiam dan kurang aktif di media sosial. Waktunya lebih suka dihabiskan dengan membaca buku.  “Kadang aku bingung melihatmu, dikit-dikit foto, dikit-dikit selfi, terus posting, apa

CATATAN SEBUAH PERJALANAN

  Oleh: Yeni Rohaeni  Seminggu yang lalu, beliau memperkenalkan diri sebagai salah satu pengelola PKBM dari Provinsi Banten. Lalu, komunikasipun mengalir begitu saja, berbagi cerita, berbagi pengalaman, berbagi informasi, dan akhirnya bertemu muka dalam sebuah perjalanan. Begitu banyak kebaikan yang aku dapatkan dalam perjalananku. Rasa ikhlas, rendah hati, senyuman tulus, dan rasa peduli mengalirkan energi positif dari sahabatku.  Gedung E lantai 7 Kemdikbud mempertemukan kami. Selesai pertemuan, sahabatku mengantarkan aku ke sebuah apartemen sebagai tempat melepas penatku.  Hari kedua aku dijemput kembali dan dibawa mengunjungi lembaga PKBM nya. Alhamdulillah, selalu ada cerita dan wawasan baru dalam setiap persinggahan.  Malam berikutnya, aku tidak lagi menginap di apartemen melainkan dibawa ke rumahnya yang cukup asri di kawasan Bogor. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kedekatan ini terjadi begitu saja padahal baru satu minggu kami berkenalan.  "Mengalirlah bersama ke

KASIH TAK TERUCAP

Lagu ruang rindunya Letto terdengar merdu dari ponselku, entah kenapa aku suka sekali lagu itu sehingga hampir 4 tahun ini tak ada niat untuk mengganti nada deringku. Ternyata itu hanya panggilan sesaat dari anakku yang sekolah di luar kota. Biasanya sekedar untuk memberi tahu bahwa dia kirim WA dan aku belum membacanya.  “Ibu sibuk?” chat singkat dari anakku. “Enggak, ada apa?” balasku cepat. “Enggak ada apa-apa, nanya doang, kok ibu gak ada nelpon-nelpon?” tanyanya lagi “Ibu banyak kerjaan,” “Ah, itu mah alesandro ibu aja,” balasnya lagi.  Aku tersenyum membacanya, bahasa anak sekarang kadang-kadang ditambahin macam-macam, alasan aja menjadi alesandro. Chat berikutnya membuat keningku agak berkerut. “Kenapa Ibu gak seperti mamanya Dilla?” Dilla adalah teman 1 kamarnya yang berasal dari kabupaten lain. “Emang mamanya Dilla, kenapa?” tanyaku penasaran “Mamanya Dilla hampir menelpon Dilla tiap hari, nanyain dah bangun belum? Dah makan belum? Dah pulang sekolah belum? Dsb lah, kok ibu ja