Langsung ke konten utama

MELEK TEKNOLOGI KARENA PANDEMI.

Maret, setahun yang lalu, corona virus yang tak kasat mata itu menghampiri negeriku. kehadirannya mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Sekolah ditutup, Mall ditutup, obyek wisata ditutup bahkan  tempat-tempat ibadah menjadi sunyi, semuanya “Stay at Home” dengan dihantui rasa cemas. Masker dan handsanitizer menjadi barang yang sangat diminati, spanduk yang bertuliskan “Jaga Jarak” memenuhi seluruh fasilitas umum. Itu semua terjadi di ibukota dan sekitarnya. Alhamdulillah, kami yang ada di bagian barat Indonesia masih menyandang status zona hijau. Larangan mudik bagi para perantau dan penjagaan ketat di gerbang masuk daerahku membuat kami sedikit lega, setidaknya virus itu tidak akan mengusik kami.

Pagi itu, Mei 2020, kami dikejutkan oleh berita yang menyatakan 3 warga di kecamatanku “positif” status zona hijau ambyar. Pasar dibubarkan, anak sekolah diliburkan. Kantor-kantor pelayanan umum dibatasi kecuali rumah sakit. Suasana terasa mencekam. Slogan “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” tidak ada artinya lagi. Semua mengeluh karena aktivitas perekonomian lumpuh. Stay at home, work from home benar-benar terjadi di kampungku. Jenuh? Sudah pasti. Sampai kapan? Wallahu a’lam.

Dalam kurun waktu yang tidak jelas, aktivitas kita hanya sekitar ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, dapur dan toilet. siapapun yang biasa berkegiatan di lapangan pasti merasakan kebosanan yang tiada tara tetapi apa daya protokol kesehatan membatasi aktivitas  dengan dunia luar. Akhirnya, ponsel menjadi media komunikasi yang sangat penting. Situasi di awal pandemi ini begitu  menguras tenaga dan emosional akibat  rasa panik akan penyebaran virus yang cukup masif hingga ke seluruh dunia. 

Lalu, akankah kita menyerah begitu saja? Oh, tidak! Menghadapi masa pandemi ini kita harus tetap berpikir positif. Pandemi hadir atas kehendak-Nya, jika yang berkehendak yang maha segalanya, kita tidak akan mampu mengelak tetapi kita tetap berusaha memotivasi diri bahwa suatu waktu pandemi akan berakhir.

Sebulan, 2 bulan sampai sekarang kita masih berada di masa pandemi, ternyata banyak juga hikmah yang bisa kita ambil. Kita yang biasa berkegiatan di luar rumah, sejak pandemi, kita lebih banyak berkumpul dengan keluarga, ketika sekolah-sekolah memutuskan anak-anak belajar dari rumah (BDR) kita pun bisa merasakan bagaimana sabarnya seorang guru dalam mengajar muridnya. Ternyata tidak mudah menjadi guru bukan? Pandemi memberikan kesempatan kita menjadi guru walaupun sebenarnya kita adalah guru pertama dari anak-anak kita sendiri di jalur  informal.

Sejak kecil sebenarnya aku sudah hobi membaca, menginjak bangku SMP akupun suka menulis walau hanya menulis dalam buku diary. Naik ke jenjang SMA, puisi-puisiku dan tulisanku mulai mengisi majalah dinding (Mading) sekolah sehingga akupun diambil sebagai seksi mading pengurus OSIS pada saat itu. Kemudian aku kuliah dan bekerja, kesibukan pekerjaan membuat hobi menulisku terhenti. Nah, di masa pandemi ini, dimana waktu kita lebih banyak di rumah, aku mulai mencoba menulis kembali walaupun tulisanku hanya sebatas di media sosial. Beruntung aku mempunyai sahabat-sahabat baik dari pegiat literasi yang membawaku masuk ke komunitas-komunitas penulis. Alhamdulillah, ini merupakan salah satu hikmah pandemi.

Adakah hikmah lainnya? Banyak sekali. Pandemi memaksa kita untuk melek teknologi. Mau tidak mau, suka tidak suka kita harus mengikutinya jika kita tidak mau ketinggalan informasi. Larangan berkerumun dan anjuran jaga jarak membuat semua kegiatan manual beralih menjadi digital, kegiatan tatap muka beralih menjadi tatap maya. Luar biasa bukan? 

Sebagai  pegiat pendidikan nonformal, aku ditantang untuk lebih melek teknologi  agar mampu memberikan edukasi kepada para peserta didik terkhusus peserta didik program kesetaraan  sehingga proses pembelajaran tidak terhenti, beruntung semua peserta didik kami sudah terkumpul pada WAG paket A, Paket B dan Paket C, ini sangat memudahkan koordinasi diantara kami. Pada akhirnya pandemi membawa peserta didik kami mengenal Gmail, Gform, Classroom, WA Web, Setara Daring dan Zoom meeting. Sulitkah? Tidak! Karena pandemi sudah mengajarkan sabar kepada kami sehingga dengan penuh kesabaran kami pun memberikan tutorial kepada para peserta didik yang notabene anak-anak putus sekolah. Alhamdulillah mereka bisa dan mereka mampu. 

Mau tahu hikmah lainnya yang lebih menarik? Mungkin sebagian ada yang tidak akan percaya bahwa selama pandemi aku memperoleh hampir 50 lembar sertifikat webinar. Sebelum pandemi, untuk memperoleh sertifikat kita harus menunggu undangan yang sifatnya terbatas, seandainya ikut secara pribadi kita harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk transportasi dan akomodasi. Pada masa pandemi kita hanya mengeluarkan biaya untuk paket data atau biaya indihome. Kalaupun ada dikenakan biaya tidak sebesar jika kita mengikuti webinar secara tatap muka. 

Setahun sudah masa pandemi kita lewati, memberi pelajaran yang begitu berarti betapa banyak hikmah yang kita dapatkan baik secara materi berupa ilmu digital maupun secara imateri bahwa manusia hanyalah makhluk yang tak berdaya. Virus Covid 19 membuat kita semakin yakin bahwa Allah sungguh Maha Kuasa. Semua kehendak adalah takdirnya dan takdirnya membuat manusia dimuka bumi ini bertekuk lutut. Pandemi mengajarkan kita untuk belajar ikhlas dan disiplin. Disiplin untuk bahu membahu mematuhi protokol kesehatan, berharap pandemi segera berakhir. 

#ChallengeRamadan

#SahabatKabolMenulis

#Day10

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUKAN SEKEDAR EKSIS

“Lo, eksis banget ya di medsos, tiap hari muncul di berandaku, ” celetuk sahabatku “Terus, masalah buat, Lo?” tanyaku. “Enggak sih, aku  heran aja.” “Kenapa heran? Kan gak aku aja yang eksis, yang lain malah sehari bisa sampai update status 3 sampai 4 kali, perasaan aku hanya sekali setiap hari.” Jawabku. “Iya sih, kadang aku bingung melihat orang-orang ini, semuanya diposting, cuaca panas langsung update “panasnya full banget” hari hujan update “hujaaaaan”, gak bisa tidur langsung update “insomnia” dapat kado langsung update “makasih ya kadonya” apalagi yang ulang tahun, dari teman gak apa-apa sih ini yang lucu kalau suami istri yang ulang tahun sampai diupdate juga emangnya mereka gak serumah ya, sampai-sampai mengucapkan ulang tahun aja di medsos.”  Kupandangi sahabatku sambil tersenyum, dia memang agak pendiam dan kurang aktif di media sosial. Waktunya lebih suka dihabiskan dengan membaca buku.  “Kadang aku bingung melihatmu, dikit-dikit foto, dikit-dikit selfi, terus posting, apa

CATATAN SEBUAH PERJALANAN

  Oleh: Yeni Rohaeni  Seminggu yang lalu, beliau memperkenalkan diri sebagai salah satu pengelola PKBM dari Provinsi Banten. Lalu, komunikasipun mengalir begitu saja, berbagi cerita, berbagi pengalaman, berbagi informasi, dan akhirnya bertemu muka dalam sebuah perjalanan. Begitu banyak kebaikan yang aku dapatkan dalam perjalananku. Rasa ikhlas, rendah hati, senyuman tulus, dan rasa peduli mengalirkan energi positif dari sahabatku.  Gedung E lantai 7 Kemdikbud mempertemukan kami. Selesai pertemuan, sahabatku mengantarkan aku ke sebuah apartemen sebagai tempat melepas penatku.  Hari kedua aku dijemput kembali dan dibawa mengunjungi lembaga PKBM nya. Alhamdulillah, selalu ada cerita dan wawasan baru dalam setiap persinggahan.  Malam berikutnya, aku tidak lagi menginap di apartemen melainkan dibawa ke rumahnya yang cukup asri di kawasan Bogor. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kedekatan ini terjadi begitu saja padahal baru satu minggu kami berkenalan.  "Mengalirlah bersama ke

KASIH TAK TERUCAP

Lagu ruang rindunya Letto terdengar merdu dari ponselku, entah kenapa aku suka sekali lagu itu sehingga hampir 4 tahun ini tak ada niat untuk mengganti nada deringku. Ternyata itu hanya panggilan sesaat dari anakku yang sekolah di luar kota. Biasanya sekedar untuk memberi tahu bahwa dia kirim WA dan aku belum membacanya.  “Ibu sibuk?” chat singkat dari anakku. “Enggak, ada apa?” balasku cepat. “Enggak ada apa-apa, nanya doang, kok ibu gak ada nelpon-nelpon?” tanyanya lagi “Ibu banyak kerjaan,” “Ah, itu mah alesandro ibu aja,” balasnya lagi.  Aku tersenyum membacanya, bahasa anak sekarang kadang-kadang ditambahin macam-macam, alasan aja menjadi alesandro. Chat berikutnya membuat keningku agak berkerut. “Kenapa Ibu gak seperti mamanya Dilla?” Dilla adalah teman 1 kamarnya yang berasal dari kabupaten lain. “Emang mamanya Dilla, kenapa?” tanyaku penasaran “Mamanya Dilla hampir menelpon Dilla tiap hari, nanyain dah bangun belum? Dah makan belum? Dah pulang sekolah belum? Dsb lah, kok ibu ja