Langsung ke konten utama

DILEMA DELISA



 

Pagi itu, 3 tahun yang lalu,  Lagu ruang rindunya Letto yang terdengar nyaring dari gawaiku tidak bisa kuabaikan lagi. Terpaksa aku meraihnya, padahal sebagai ibu rumah tangga, pagi hari bukan waktunya memegang android tetapi waktunya mengurus urusan dapur.  

“Ada apa sih, Del? Pagi-pagi dah ribut nelpon, ganggu kerjaanku aja,” jawabku saat kutahu yang nelpon adalah Delisa sahabatku.

“Mamaku nanyain akta ceraiku,  aku bingung harus bilang apa lagi? Gak mungkin kan aku berbohong terus sama mamaku.” 

Aku termangu mendengar suara sahabatku yang lirih. Sahabatku memang sedang mengalami masa yang berat, masa dimana dia harus menentukan sebuah pilihan.  Mengikuti keinginan mamanya atau menyusul suaminya.

Hampir 2 tahun, suami Delisa meninggalkannya, suaminya memutuskan berhenti bekerja di kota Bandung dan memilih pulang ke kampungnya di Pulau Kalimantan. Sebelum pulang suaminya berpesan agar Delisa dan anaknya yang berusia 4 tahun tetap tinggal di Bandung sampai suaminya mendapatkan pekerjaan kembali. 

Kepergian suaminya membuat  Delisa pulang ke rumah orang tuanya karena tidak bisa lagi membayar kontrakan rumah. Setelah menikah, Delisa memang berhenti bekerja agar fokus mengurus anak dan rumah tangga. Rasa putus asa dalam penantian terkadang hadir memenuhi rongga dadanya. Keyakinan bahwa pernikahan adalah pencipta kebahagian telah ambyar, suaminya semakin jarang memberi kabar.

Akhirnya, mamanya menyuruh Delisa untuk mengajukan cerai. 

“Suamimu tidak bertanggung jawab! Kau berhak mengajukan cerai karena sudah lebih dari 3 bulan suamimu tak menafkahimu.” 

Ucapan mamanya membuat sahabatku berada dipersimpangan. Pikirannya berkecamuk, ingin rasanya mempertahankan rumah tangga tetapi Delisa tidak punya pembelaan untuk suaminya, janji suaminya untuk menjemput hanya sebuah fatamorgana. 

Dengan langkah gontai Delisa memasuki ruang sidang Pengadilan Agama. Surat gugatan yang dilayangkan Pengadilan Agama ke alamat suaminya tidak mendapat tanggapan. Delisa mengikuti sidang seorang diri. Sidang berikutnya, Delisa diminta membawa saksi dan akupun jadi saksi. Saksi atas sebuah kejadian yang mengharu biru karena pada sidang kedua tanpa diduga suaminya hadir. 

Sahabatku mengalami perang batin yang amat dahsyat. Kedatangan suaminya dengan semua penjelasan yang menyebabkan tidak memberi kabar membuat hati Delisa luluh, rasa kecewa, marah seketika luruh dan membuatnya mencabut  gugatan cerai pada suaminya. Seketika para Hakim mengucapkan Hamdallah. 

Suaminya mengajak Delisa untuk ikut ke Kalimantan. Delisa berjanji akan mengikutinya tetapi setelah memberi pengertian kepada mamanya. Delisa yakin mamanya pasti tidak akan memberi ijin apalagi Delisa anak perempuan satu-satunya. Akhirnya suaminya kembali ke Kalimantan untuk menanti kabar dari sahabatku.

“Del, sebaiknya kamu jujur sama mamamu, bilang bahwa sebenarnya akta cerai itu tidak akan pernah ada karena kamu telah mencabut gugatan cerai ,” kataku tegas.

“Pasti mamaku akan sangat kecewa, Teh,” jawabnya

Mama Delisa memang tidak pernah ikut menghadiri sidang anaknya, sehingga tidak pernah tahu kalau sebenarnya Delisa sudah mencabut gugatan cerainya. setiap menanyakan akta cerai, Delisa selalu bilang kalau akta cerainya belum keluar.

"Apa yang harus aku katakan, Teh? aku tak mau menyakiti hati mamaku."

“Del, hukum taat pada suami bagi seorang istri adalah wajib sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Suami merupakan imam dan pemimpin bagi wanita yang telah menikah, jujur pada mamamu akan lebih baik daripada kamu bergulat pada permasalahan rumit tentang sebuah pilihan.” 

Entah bagaimana caranya, akhirnya sahabatku dijinkan mamanya untuk menyusul suaminya.  Setahun kemudian aku mendapat kabar bahwa sahabatku sangat aktif di kampung suaminya. Dia ikut berbagai organisasi dan termasuk orang yang diandalkan. Pendidikan dan pengalaman bekerja sebelumnya sangat bermanfaat bagi masyarakat di sana.

“Teh, aku sangat bersyukur karena aku telah mengambil pilihan yang tepat untuk mengikuti suamiku, seandainya aku menuruti mamaku mungkin aku hanya akan menjadi orang yang tergantung pada orang tuaku.” 

Aku tersenyum bahagia mendengar kabarnya. Semua kejadian pasti ada hikmahnya. 

#nama disamarkan

#ChallengeRamadan

#SahabatKabolMenulis

#Day1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BUKAN SEKEDAR EKSIS

“Lo, eksis banget ya di medsos, tiap hari muncul di berandaku, ” celetuk sahabatku “Terus, masalah buat, Lo?” tanyaku. “Enggak sih, aku  heran aja.” “Kenapa heran? Kan gak aku aja yang eksis, yang lain malah sehari bisa sampai update status 3 sampai 4 kali, perasaan aku hanya sekali setiap hari.” Jawabku. “Iya sih, kadang aku bingung melihat orang-orang ini, semuanya diposting, cuaca panas langsung update “panasnya full banget” hari hujan update “hujaaaaan”, gak bisa tidur langsung update “insomnia” dapat kado langsung update “makasih ya kadonya” apalagi yang ulang tahun, dari teman gak apa-apa sih ini yang lucu kalau suami istri yang ulang tahun sampai diupdate juga emangnya mereka gak serumah ya, sampai-sampai mengucapkan ulang tahun aja di medsos.”  Kupandangi sahabatku sambil tersenyum, dia memang agak pendiam dan kurang aktif di media sosial. Waktunya lebih suka dihabiskan dengan membaca buku.  “Kadang aku bingung melihatmu, dikit-dikit foto, dikit-dikit selfi, terus posting, apa

CATATAN SEBUAH PERJALANAN

  Oleh: Yeni Rohaeni  Seminggu yang lalu, beliau memperkenalkan diri sebagai salah satu pengelola PKBM dari Provinsi Banten. Lalu, komunikasipun mengalir begitu saja, berbagi cerita, berbagi pengalaman, berbagi informasi, dan akhirnya bertemu muka dalam sebuah perjalanan. Begitu banyak kebaikan yang aku dapatkan dalam perjalananku. Rasa ikhlas, rendah hati, senyuman tulus, dan rasa peduli mengalirkan energi positif dari sahabatku.  Gedung E lantai 7 Kemdikbud mempertemukan kami. Selesai pertemuan, sahabatku mengantarkan aku ke sebuah apartemen sebagai tempat melepas penatku.  Hari kedua aku dijemput kembali dan dibawa mengunjungi lembaga PKBM nya. Alhamdulillah, selalu ada cerita dan wawasan baru dalam setiap persinggahan.  Malam berikutnya, aku tidak lagi menginap di apartemen melainkan dibawa ke rumahnya yang cukup asri di kawasan Bogor. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau kedekatan ini terjadi begitu saja padahal baru satu minggu kami berkenalan.  "Mengalirlah bersama ke

KASIH TAK TERUCAP

Lagu ruang rindunya Letto terdengar merdu dari ponselku, entah kenapa aku suka sekali lagu itu sehingga hampir 4 tahun ini tak ada niat untuk mengganti nada deringku. Ternyata itu hanya panggilan sesaat dari anakku yang sekolah di luar kota. Biasanya sekedar untuk memberi tahu bahwa dia kirim WA dan aku belum membacanya.  “Ibu sibuk?” chat singkat dari anakku. “Enggak, ada apa?” balasku cepat. “Enggak ada apa-apa, nanya doang, kok ibu gak ada nelpon-nelpon?” tanyanya lagi “Ibu banyak kerjaan,” “Ah, itu mah alesandro ibu aja,” balasnya lagi.  Aku tersenyum membacanya, bahasa anak sekarang kadang-kadang ditambahin macam-macam, alasan aja menjadi alesandro. Chat berikutnya membuat keningku agak berkerut. “Kenapa Ibu gak seperti mamanya Dilla?” Dilla adalah teman 1 kamarnya yang berasal dari kabupaten lain. “Emang mamanya Dilla, kenapa?” tanyaku penasaran “Mamanya Dilla hampir menelpon Dilla tiap hari, nanyain dah bangun belum? Dah makan belum? Dah pulang sekolah belum? Dsb lah, kok ibu ja