Oleh: Yeni Rohaeni
"Ma, ikat pinggang dede mana?"
"Ma, dasi dede mana? Kaos kakinya juga, Ma?"
"Lho, dede kan bisa bisa ambil sendiri."
"Sekarang kan ada mama di rumah, jadi mama yang nyiapin," jawab anakku polos
Sebenarnya berat untuk meninggalkan anakku di rumah tetapi tuntutan pekerjaan terkadang mengharuskan aku untuk meninggalkan rumah dalam beberapa hari.
Saat sedang tugas luar, ayahnya sering mengirim photo aktifitas anakku. Aku cukup lega karena tahu kalau anakku yang masih duduk di kelas III Selolah Dasar sudah bisa mandiri walaupun sekadar memasak nasi pakai magic com dan membuat ceplok telur untuk makannya.
Sayangnya, saat aku sampai rumah, anakku tidak menunjukan lagi kemandiriannya. Mau sekolah minta aku menyiapkan peralatan sekolahnya, mau makan minta aku menyiapkan makanannya. Seolah-olah dia menuntut haknya saat aku meninggalkannya.
"Ah, tak apa-apa," gumamku dalam hati. Rasa bersalah telah meninggalkannya membuat aku menuruti semua permintaannya.
Mungkin apa yang aku lakukan ini salah ya, Mak? Kenapa? karena aku pernah membaca sebuah artikel yang menyebutkan, "Mama tidak perlu merasa bersalah atau takut, anak merasa tidak dicintai, jika orang tua tidak selalu menanggapi keinginanya. Bagian dari pengasuhan yang baik adalah mengajarkan anak bahwa tidak semua keinginan dan kebutuhan mereka dapat dipenuhi." (Popmama.com)
Aku cukup paham isi dari artikel tersebut, rasa bersalahlah yang selalu membuat aku tidak tega untuk tidak menuruti keinginannya dan akupun tidak bisa memaksa anakku untuk mandiri, karena aku menyadari bahwa bentuk kemandirian anak akan berbeda sesuai dengan fase tumbuh kembangnya.
Saya merasa harus lebih banyak lagi mendalami ilmu parenting terutama memahami tugas orang tua dalam proses mengasuh dan mendidik anak agar mental kemandiriannya tumbuh sesuai tahapan perkembangannya, bukan memaksa anak jadi mandiri di usia tertentu.
"Maaf ya, Dek, jika mamamu sering meninggalkanmu."
#Kabolmenulis51
#day24
Komentar
Posting Komentar